Anthony Dio Martin, Pembicara publik dan motivator papan atas Indonesia
Baru-baru ini, kisah para petani di desa milyarder Tuban jadi sorotan. Ternyata, kisah kekayaan tiba-tiba mereka yang sempat jadi viral, kini berbalik. Sekitar dua tahun lalu diceritakan bagaimana para petani di sekitar desa Sumurgeneng, Jenu, Tuban jadi kaya mendadak. Mereka ketiban rezeki nomplok karena daerahnya jadi tempat kilang minyak Pertamina. Mereka dapat uang ganti rugi yang bikin iri.
Bahkan, menurut kepala desa, ada transaksi tanah yang mencapai 25 milyar. Bayangkan! Yang makin bikin sirik adalah berita yang menceritakan bagaimana mereka mengekspresikan kegembiaraan dengan berbondong-bondong membeli mobil baru. Muka mereka tersenyum senang dan bahagia dengan rezeki mereka itu.
Namun, kisahnya kini terbalik. Yang ada bukan lagi para petani yang bahagia, tapi menderita. Bahkan, banyak yang mulai mengancam akan demo dan protes karena sekarang mereka menjadi melarat. Uang “kaget” mereka telah habis. Misalkan saja ada keluarga yang kabarnya menerima 17 milyar, yang kini tersisa tinggal 50 juta saja. Bahkan, kini mereka makin sengsara sebab lahan yang dulu mereka bisa pakai buat bertani, sudah tidak ada. Di sinilah mereka menyesal, menangis dan juga marah.
Sudden Wealth Syndrome: Sindrom Kaya Mendadak
Istilah “sindrom kaya mendadak”, adalah istilah yang pertama kali dipakai oleh psikolog Stephen Goldbart, pendiri Money, Meaning and Choice Institute (MMCI). Sindrom ini mengambarkan situasi ketika orang dapat rezeki yang mendadak dan mental mereka belum siap. Sebuah studi yang dilakukan di tahun 2010 mengungkapkan, dari 35.000 pemenang lotere hingga tahun itu ternyata sekitar 1900 telah menjadi total bangkrut. Data agak ekstrim dari National Endowment for Financial Education malah mengatakan bahwa 70% pemenang lotere menjadi miskin kembali. Bahkan artis hingga atlet yang mendadak kaya pun misalkan para pemain NFL di Amerika yang begitu tajirnya, ternyata banyak yang jadi miskin setelah 12 tahun pensiun.
Mereka umumnya terkena sindrom yang bernama Sudden Wealth Syndrome ini. Mereka kaya mendadak, tapi mental mereka tidak siap. Contoh seperti kisah Willie Hurt yang menang 3,1 juta dollar di tahun 1989. Hidupnya tragis. Dua tahun kemudian dia malah jadi pecandu narkoba dan dituduh melakukan pembunuhan. Uangnya pun ludes. Tidak bersisa. Begitu juga Jenita Lee yang menang lotere 18juta dollar di tahun 1993. Namun, delapan tahun kemudian ia jatuh miskin lagi dan hanya punya uang 700 dollar di banknya.
Apa yang terjadi? Kok bisa mengapa demikian? Sudden Wealth Syndrome menggambarkan mental orang yang belum siap untuk kaya. Akibatnya, saat mereka mendapatkan kekayaan yang mendadak, merekapun bingung. Tidak tahu uangnya harus diapakan. Hal yang sering terjadi adalah membalas dendam dengan membelanjakan pada barang yang dulunya mereka tidak punya. Padahal, mereka sebenarnya tidak butuh. Misalkan saja, mobil. Dan itulah yang dilakukan oleh para petani di Tuban saat mereka terima uang. Karena kebingungan dan tidak tahu, apa yang harus dilakukan, umumnya yang terpikirkan adalah membelanjakan. Dan itulah yang perlahan-lahan membuat mereka jadi miskin kembali.
Kita Punya Termostat Mental Soal Uang
Salah satu fungsi termostat secara mekanis adalah menjaga suatu kondisi tetap stabil misalkan suhu. Jadi jika suhu menjadi terlalu panas, ia akan kembalikan ke suhu semula, dengan cara memutus sambungkan aliran listrik. Begitupun kalau terlalu dingin. Ia akan menaikkan ke semula. Itulah fungsi termostat yang menstabilkan.
Nah! Bicara keuangan pun kita semua punya termostat itu. Sebuah termostat yang tidak kelihatan yang menjaga kita di kondisi semula. Termasuk termostat mental kita soal uang.
Bayangkanlah jika seseorang yang sudah terbiasa dengan mentalitas miskin di level tertentu. Dan tiba-tiba ia mendapatkan kekayaan. Apakah yang terjadi? Otomatis, termostat mental ini akan bekerja. Ia seakan-akan mau bilang, “Lho kok ada uang segitu banyak. Biasanya kan nggak seperti ini jumlah yang aku mampu hidupi”. Jadilah mental ini akan menyesuaikan dengan cara “membelanjakan” atau mengeluarkan uang agar bisa kembali ke semula. Ini memang kedengarannya tidak masuk akal, tapi kalau kita perhatikan para pemenang lotere yang rata-rata kembali jadi miskin, itulah yang terjadi.
Saya teringat dengan sebuah peristiwa yang dialami keluarga besar kami, yakni kakek saya. Waktu dulu, kakek adalah petani sekaligus tuan tanah yang luas dengan hasil yang begitu fantastis. Namun, kakek bersama dengan banyak petani di wilayah itu kemudian diusir dan tanah yang kaya raya dan luas dengan kebun karet, lada, dan rempah-rempah direbut paksa penduduk di sekitar itu yang diprovokasi. Awalnya, para penduduk dan orang yang merebut begitu bergembira karena tanah yang begitu luas bisa diambil alih dan kakek saya sekeluarga dan beberapa lainnya diusir. Tapi, apa yang terjadi berikutnya?
Beberapa orang dan penduduk setempat yang ambil alih ternyata dalam beberapa tahun kemudian, jatuh miskin dan tanah yang begitu luas kekayaannya, lenyap begitu saja. Mereka kehilangan kekayaannya bahkan ada yang bunuh diri dalam kondisi miskin di rumah tempat kakek tinggal dulu. Tampaknya, mental mereka memang belum sanggup menerima tanah serta kekayaannya yang luar biasa seperti itu. Termostat mental mereka belum siap untuk menjadi kaya.
Sebaliknya, ketika seseorang memang sudah punya termostat kekayaan, kalau pun dia dimiskinkan, dia akan sanggup untuk merangkak ke atas lagi. Alasannya, dia sebenarnya sudah punya termostat mental kekayaan. Makanya Robert Kiyosaki, penulis Rich Dad, Poor Dad pernah menjelaskan, kalau memang pada dasarnya seseorang itu punya mental kaya, mau dimiskinkan dengan diambil semua tabungannya, dia akan bisa mencari cara untuk mendapatkan kekayaannya lagi. So, uang itu menyangkut mental bukan jumlah.
Itulah sebabnya, yang jadi masalah adalah ketika seseorang menerima kekayaan dadakan, tapi pikirannya belum siap. Mentalnya masih dengan mental miskin. Maka, mental itu bisa menyabotase sehingga seseorang akan melakukan dan ambil keputusan salah, menyangkut uang kaget yang diterimanya. Umumnya, dengan keputusan keuangan yang salah.
Di sinilah, belajar dari Sudden Wealth Syndromee, kita akhirnya paham, kekayaan yang diperoleh secara perlahan dan pasti, itu lebih langgeng daripada yang didapat dengan tiba-tiba. Dan sekali lagi, jangan berdoa buat kaya, sebelum mental kita siap untuk menerimanya. Karena kalau nggak siap, akan lebih menyakitkan!
Menjadi orang yang “pernah kaya” lantas menjadi miskin kembali gara-gara nggak mampu kelola uang saat dapat rezeki nomplok, sebenarnya menyakitkan. Kali ini, kita bisa berempati sekaligus belajar dari kisah para petani di Tuban itu. Salam Antusias!